Laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Download file doc dan pdf

Masih tentang laporan pendahluan / LP, Pada postingan kali ini kami bagikan laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Bagi teman - teman sejawat yang membutuhkan untuk pembuatan tugas LP, askep ataupun makalah silahkan diambil.

Laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang kami bagikan ini kami berikan dalam bentuk file doc dan pdf. 

untuk mendownload laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dalam bentuk file doc dan pdf silahkan download dibawah ini.



Laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).


Anatomi Dan Fisiologi Prostat

Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.

Prostat terdiri dari :
  • Jaringan Kelenjar  50 - 70 %
  • Jaringan Stroma (penyangga)
  • Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.


Etiologi/Penyebabnya

Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :

1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.

2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron

Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

3. Interaksi stroma - epitel

Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.

4. Penurunan sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem cell

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.(Roger Kirby, 1994 : 38).


Tanda dan Gejala

1. Gejala iritatif meliputi :
  • Peningkatan frekuensi berkemih
  • Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
  • Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
  • Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :
  • Pancaran urin melemah
  • Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
  • Kalau mau miksi harus menunggu lama
  • Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
  • Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
  • Urin terus menetes setelah berkemih
  • Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih.
  • Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
  • Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
  • Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
  • Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

Patofisiologi

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).

Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11).

Fathway Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Fathway BPH


Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.

2. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.

Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.

Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.

3. Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.

BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.


Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000). Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)


Penatalaksanaan medis

Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.

Jenis pengobatan pada BPH antara lain:

Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.

Terapi medikamentosa
  • Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
  • Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

Terapi bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
  • Retensi urin berulang
  • Hematuri
  • Tanda penurunan fungsi ginjal
  • Infeksi saluran kemih berulang
  • Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
  • Ada batu saluran kemih.

1. Prostatektomi

Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.

a. Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

b. Prostatektomi Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.

c. Prostatektomi retropubik.

Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.

2. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).

Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

3. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.

TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).

Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.

TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

Terapi invasif minimal, seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum transuretral




Pengelolaan Pasien

1. Pre operasi
  • Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)
  • Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
  • Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
  • Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
  • Irigasi/Spoling dengan Nacl
  1. Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
  2. Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
  3. Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
  4. Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
  5. Hari ke 4 post operasi diklem
  6. Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam kateter bening)
  • Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
  • Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
  • Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
  • Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin
  • Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
  • DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
  • Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
  • Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
  • Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
  • Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
  • Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
  • Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
  • Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.


Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian 

Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :

a. Demografi

Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.

b. Riwayat penyakit sekarang Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine

c. Riwayat penyakit dahulu Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya.

d. Riwayat kesehatan keluarga Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.

e. Pola kesehatan fungsional

1) Eliminasi

Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.

2) Pola nutrisi dan metabolism

Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.

3) Pola tidur dan istirahat

Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).

4) Nyeri/kenyamanan

Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah

5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan alkhohol.

6) Pola aktifitas

Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.

7) Seksualitas

Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.

8) Pola persepsi dan konsep diri

Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.

f. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1) Laboratorium

a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.

b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.


c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak=""> 10 ng/ml.
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

2) Radiologis/pencitraan

Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.

a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.

b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.

c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.




Diagnosa Keperawatan
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah :

1. Pre Operasi

a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.

d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

2. Post Operasi

a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan


<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

Intervensi dan Rasional
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah:

1. Pra operasi

a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.

Tujuan : Tidak terjadi retensi urine

Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.

Intervensi :

1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan

Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.

2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.

Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.

Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.

4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik

Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea Suprapubik

5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari

Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total

7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi

Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.

8) Kolaborasi pemberian obat :

  • Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme
  • Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
  • Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.

Tujuan : nyeri hilang, terkontrol

Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat Intervensi :

1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi

2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan

Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik

3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman: mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik

Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping

4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum

Rasional : meningkatkan relaksasi otot

5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)

Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk mengetahui keefektivitasnya.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.

Tujuan : pasien tampak rileks.

Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut

Intervensi :

1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya

Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.

2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.

3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan

Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan

Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.

Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan

Intervensi :

1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.

Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.

2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien

Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan terapi

3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya

4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya.

2. Post operasi

a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi

Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan sebanding dengan haluaran.

Intervensi :

1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi berlangsung

Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.

2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih

Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.

3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.

Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.

4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari setelah kateter dilepas

Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.

5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter

c. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil :
  1. Pasien mengatakan nyeri berkurang
  2. Ekspresi wajah pasien tenang
  3. Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
  4. Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
  5. Tanda – tanda vital dalam batas normal.

Intervensi :
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)

Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih.

2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.

3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan

Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system. Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih

4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih

Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.

5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :

  • Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri
  • Propantelin bromide (pro-bantanin) Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja antikolinergik.

d. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah


Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

Kriteria Hasil :

  1. Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
  2. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
  3. Urine lancar lewat kateter
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">Intervensi : 


<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .

Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan.

2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .

Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih

3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .

Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatic yang akan mengendapkan perdarahan

4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rectal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .

Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat

5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .

Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan

6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran Warna urine

Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering

Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi 



<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">
Kriteria Hasil :

  1. Pasien tidak mengalami infeksi.
  2. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
  3. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.

Intervensi :
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">

1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.

Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.

2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.

Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal

3) Pertahankan posisi urinebag dibawah

Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.

4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.

Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.

5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.

Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.

6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic

Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

f. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.

Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi

Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.

Intervensi :

1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya

Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu

2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi Seksual

Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur radikal.

3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik digunakan

Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh

4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urinRasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual.

g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. 



<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">
Kriteria hasil :

  1. Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
  2. Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
  3. Pasien mampu menjelaskan factor penghambat tidur .

Intervensi : 
<4ng 0="" 4-10="" antigen="" besar="" bila="" biopsy.="" biopsy="" demikian="" dengan="" density="" dilakukan="" hitunglah="" lebih="" maka="" ml="" ng="" nila="" nilai="" perlu="" prostat="" prostate="" psa="" pula="" sama="" sebaiknya="" sedangkan="" specific="" tidak="">
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan

2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan

Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat

3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.

Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.

Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .


Evaluasi

Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari adalah :
  1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen 
  2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan 
  3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine. 
  4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.

Daftar Pustaka
  1. Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
  2. Djanalaeoni H. (1977). Aseptik dan Antiseptik. Volume 6. Ropanasuri.
  3. Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
  4. Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
  5. Hardjowijoto S. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program Studi Urologi Unair.
  6. Hardjowijoto S. (1999) .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
  7. Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
  8. Puruhito. (1989). Tata Kerja Kamar Operasi. Surabaya.
  9. Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
  10. Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki. Pedoman Teknik Operasi.
  11. Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral Pada Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Laporan pendahuluan / LP Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Download file doc dan pdf"

Posting Komentar